Single Blog Title

This is a single blog caption
30 Jan 2023

Astronomi Indonesia dalam Bingkai Prangko Digital

Foto prangko Seabad Bosscha yang akan diterbitkan pada 30 Januari 2023 menandai seabad Observatorium Bosscha yang jatuh pada 1 Januari 2023.

Prangko Seabad Bosscha yang akan diterbitkan pada 30 Januari 2023 dicetak dengan teknologi ”augmented reality” dalam format 3D dan 2D. Ini memungkinkan pemiliknya berselancar melalui Instagram Observatorium Bosscha.

 

Di era transformasi digital, peran prangko secara konvensional sebagai bukti alat pembayaran pengiriman benda pos tetap berlaku. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, prangko telah mengalami revitalisasi mendasar. Peran prangko tak sekadar sebagai pengganti alat bayar, tetapi prangko juga dapat digunakan sebagai sarana promosi, second track diplomasi, alat edukasi, dan masih banyak peran lainnya. Dalam sejarah peradaban manusia, prangko juga mampu memotret peristiwa penting dan merekam memori dari waktu ke waktu.

 

Prangko tergolong menjadi benda memorable yang semakin hari bernilai tinggi. Salah satu prangko termahal saat ini adalah prangko Red Revenue. Prangko yang diterbitkan Pemerintah China pada 1896, tepatnya di zaman Dinasti Qing, ini dicetak dengan teknik intaglio yang rumit, dan desainnya sangat baik. Dari berbagai varian Red Revenue, prangko Red Revenue denominasi ”1 Dollar” adalah yang paling langka dan mahal. Jika ditemukan dengan bentuk 4 blok, Red Revenue 1 Dollar harganya memecahkan rekor, lebih dari Rp 300 juta.

 

Tidak ada prangko yang diterbitkan tanpa latar belakang peristiwa. Oleh karena itu, prangko bisa menjadi pengingat catatan sejarah perjalanan bangsa ini. Dalam rangka menandai seabad Observatorium Bosscha, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Pusat Observatorium Bosscha, Institut Teknologi Bandung, pada Januari ini menerbitkan ”Prangko Seabad Bosscha”.

 

Prangko tersebut dicetak dengan teknologi augmented reality dalam format 3D dan 2D, yang memungkinkan para pemiliknya dapat berselancar melalui media sosial Instagram Observatorium Bosscha. Dengan tampilan beberapa konten animasi menarik, publik dapat selfie dengan latar belakang bangunan Bosscha atau teleskop Galaxy.

 

Sentuhan teknologi ini merupakan value added prangko kekinian yang mampu memberikan kemudahan bagi para pemiliknya untuk dapat mengakses informasi dan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan terkait tema seri prangko, bahkan setiap orang dapat ”berinteraksi” menjalin komunikasi langsung dengan institusi atau organisasi terkait, melalui fitur teknologi yang diterapkan pada prangko, sehingga menjadikan prangko seolah ”hidup” dan semakin berwarna.

 

Prangko Seabad Bosscha yang akan diterbitkan pada 30 Januari 2023 yang sekaligus menjadi prangko perdana tahun 2023 berteknologi digital. Bukan hanya keistimewaannya berteknologi AR, karena prangko Bosscha terhubung dengan media sosial lembaga tersebut, maka masyarakat juga dapat mengetahui aktivitas serta informasi-informasi seputar perkembangan dunia astronomi Indonesia.

 

Seabad Bosscha yang akan diterbitkan pada 30 Januari 2023 menandai seabad Observatorium Bosscha yang jatuh pada 1 Januari 2023. Prangko tersebut dicetak dengan teknologi augmented reality dalam format 3D dan 2D, yang memungkinkan para pemiliknya dapat berselancar melalui media sosial instagram Observatorium Bosscha.

 

Sejarah Observatorium Bosscha

Menengok sejarah panjang astronomi di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ”Observatorium Bosscha” Bandung, yang dahulu dikenal sebagai Bosscha Sterrenwacht. Observatorium Bosscha diinisiasi oleh seorang Belanda keturunan Jerman bernama Gijsbertus Voûte Bosscha yang peduli kepada kemajuan dan kesejahteraan orang-orang pribumi Hindia Belanda.

 

Selain sebagai pemerhati ilmu pendidikan khususnya astronomi, Bosscha mengawali kiprahnya dengan membuka Perkebunan Teh Malabar pada Agustus 1896. Untuk merealisasikan mimpinya, Bosscha mendirikan Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda atau Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereniging (NISV) dengan misi spesifik, yakni mendirikan dan memelihara sebuah observatorium astronomi di Bandung.

 

Observatorium Bosscha Bandung secara resmi dibuka pada 1 Januari 1923, diprakarsai dan dikelola oleh Nederlandsch-Indische-Sterrenkundige Vereeniging pimpinan Karel Albert Rudolf Bosscha. Tujuannya ialah untuk pengembangan dan rekayasa astronomi modern di Indonesia, dan menjadi backbone atau tulang punggung dari upaya memajukan ilmu pengetahuan.

 

Observatorium Bosscha Bandung secara resmi dibuka pada 1 Januari 1923, diprakarsai dan dikelola oleh Nederlandsch-Indische-Sterrenkundige Vereeniging pimpinan Karel Albert Rudolf Bosscha.

 

Sebagai observatorium astronomi tertua di belahan bumi selatan, dan menjadi tonggak pengembangan astronomi modern di Asia Tenggara, Observatorium Bosscha memiliki ”kredo” semangat gotong royong dan kolaboratif untuk menyatukan gagasan, merumuskan instrumen astronomi, dan berbagai program ilmiah, serta penyiapan sumber daya manusia profesional bidang astronomi.

 

Dipilihnya kawasan perbukitan Lembang di Bandung sebagai lokasi berdirinya observatorium atas pertimbangan stabilitas geologi, cuaca, jumlah malam yang cerah dalam per tahun, dan jarak yang tidak terlalu jauh dengan Technische Hogeschool (cikal-bakal Institut Teknologi Bandung). Sebagai institusi astronomi rintisan waktu itu, Observatorium Bosscha masih mengandalkan teleskop-teleskop kecil sebelum kemudian pada 1928 dilengkapi dengan refraktor ganda Zeiss yang merupakan teleskop tercanggih dan dirancang secara khusus untuk memenuhi tujuan penelitian dalam iklim lokal.

 

Observatorium Bosscha dibangun pada dekade di mana sejumlah karya teoretis terobosan dalam ilmu fisika membutuhkan bukti pengujian dan pengamatan. Yang berhubungan langsung dengan astronomi adalah teori relativitas umum yang dikemukakan oleh Albert Einstein dan nukleosintesis bintang sebagai salah satu manifestasi fisika kuantum oleh Arthur Eddington.

 

Untuk teori relativitas umum, tes paling sederhana adalah efek pembelokan cahaya oleh Matahari, yang diuji selama gerhana matahari total. Seperti diketahui, Indonesia terutama di bagian timur, tahun ini tepatnya pada 20 April 2023, akan dilintasi fenomena alam luar biasa, yakni gerhana matahari hybrid. Sejak beberapa bulan lalu, tim peneliti dari Bosscha dan ITB melakukan persiapan pada titik-titik lokasi terdampak.

 

Di usianya yang masih muda saat itu, Observatorium Bosscha telah membangun jaringan kolaborator dengan menghadirkan para ilmuwan dari seluruh dunia ke Sumatera untuk mengamati gerhana matahari total pada 1926. Sebagai tempat produksi nukleosintesis bintang, pembangkitan cahaya di bintang, dan pengetahuan tentang massa bintang dibutuhkan. Pada saat itu, satu-satunya cara untuk mengekstrak informasi tentang massa sebuah bintang adalah apabila bintang tersebut kebetulan berada dalam sistem ganda, yaitu dua bintang yang mengorbit pusat massanya.

 

Mengamati bintang ganda menjadi salah satu prioritas tertinggi untuk teleskop ukuran cukup besar seperti refraktor ganda Zeiss. Pengamatan sejumlah besar sistem bintang ganda terekam pada ribuan pelat kaca di Observatorium Bosscha, yang menyimpan banyak koleksi data astronomi sejak awal abad ke-20 dan perpustakaan buku, majalah, peta, dari abad ke-18 yang sangat diperlukan hingga kini.

 

Perang Dunia Kedua telah mendistorsi sebagian besar aktivitas astronomi di Indonesia. Diperlukan upaya mengembalikan fungsi Observatorium Bosscha dengan program ilmiah tambahan dan teknik pengamatan baru. Maka, pada 18 Oktober 1951, Observatorium Bosscha dihibahkan kepada Republik Indonesia di bawah naungan Institut Teknologi Bandung yang sekaligus menandai dimulainya program astronomi tingkat universitas di Indonesia. Astronomi dan astrofisika menjadi salah satu ilmu pengetahuan alam yang diajarkan dan dikembangkan di Fakultas MIPA ITB.

 

Sementara itu, Observatorium Bosscha terus mengembangkan karya penelitian, khususnya dalam fisika bintang, Galaksi Bima Sakti. Teleskop Schmidt dengan medan pandang luas disiapkan untuk mensurvei Galaksi Bima Sakti, dan karena itu dinamai Teleskop Bima Sakti.

 

Mulai tahun 2000-an, Observatorium Bosscha mengakomodasi topik-topik penelitian baru, seperti pengamatan bulan sabit muda, fisika matahari, planet ekstra surya, dan mulai memperluas panjang gelombang pengamatan untuk memasukkan rezim radio.

 

Fasilitas komputasi di observatorium telah dikembangkan untuk memungkinkan pekerjaan komputasi yang kompleks, manajemen dan analisis data yang masif, dan pengoperasian teleskop robotik jarak jauh agar astronomi Indonesia dapat berkembang lebih jauh, aktif dan produktif dalam big data science dengan bidang penelitian yang lebih luas yang mencakup kosmologi, astrofisika energi tinggi, dan studi detail tentang Tata Surya.

 

Dengan perannya yang signifikan dalam penelitian dan pendidikan astronomi, Observatorium Bosscha telah menjadi salah satu pilar ilmu pengetahuan di Indonesia. Upaya serius di bidang astronomi untuk umum dan sekolah telah menjadikan astronomi salah satu ilmu yang paling populer di Indonesia, yang juga menjadi pintu masuk menarik untuk belajar matematika dan cabang ilmu lainnya. Astronomi membuka kesempatan untuk kita menjadikan semesta sebagai ruang refleksi maha raksasa untuk memahami keistimewaan bahwa bumi rumah kita.

 

Dengan dampak positif pada sains dan literasi sains publik, Observatorium Bosscha telah ditetapkan pemerintah menjadi Cagar Budaya Nasional sejak 2004 dan diperkuat kembali pada 2018 oleh keputusan pemerintah daerah Bandung untuk kemudian menjadi obyek vital nasional sejak 2008. Ini melegitimasi fungsi dan peran, sekaligus menjamin perlindungan integritas observatorium.

 

Eko Wahyuanto, Analis Kebijakan Kemkominfo; Dosen Universitas Pancasakti

 

Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/27/astronomi-indonesia-dalam-bingkai-prangko-digital

Questions? Let's Talk!